Ini sabtu ketiga pasca tragedi surat cinta pink dalam kotak
DVD. Neng semakin sering mengurung diri
di kamar. Ratusan sms dari Bang Jun tidak pernah Neng balas, pun telpon yang kemudian
hanya menjadi miscall. Beberapa kali Bang Jun datang ke rumah, Neng tidak mau
menemui. Kalau papasan di jalan, Neng pura-pura tidak lihat; kalau perlu putar
arah. Neng tahu, ada orang yang bisa dengan mudah menjadi sangat biasa kembali berteman
dan curhat bareng, seperti yang Bang Jun minta dalam sms. Tapi orang itu bukan
Neng.
Orang yang tega menyakiti hati saya sama sekali tidak punya hak atas
saya, bahkan hak untuk mendapatkan sikap sopan saya.
Tidak, Neng tidak lagi menangis. Hati Neng jadi dingin dan kebas.
Bahkan Neng tidak tahu mana yang lebih sakit, dengan Akang atau dengan Abang.
“Neeeeeenngg!! Bengong lagi kan..!!Lo dengerin gue ngomong
gak sih?” sebuah bantal melayang ke muka Neng.
“Atapiluloh. Kaget tauk.” Neng meringis
Adalah Butet, sahabat Neng sejak kecil, yang selalu
menghibur Neng. Asli Medan. Butet tinggal dengan mamanya. Menurut Butet sih,
sang bapak kabur dengan perempuan lain. Butet perempuan yang keras dan tegas,
khas orang Batak. Wajahnya biasa saja. Tapi hatinyaaa…. Luar biasa baik.
Butet : Mikirin Abang lagi ya, Neng?
Neng : ……*senyum miris
Butet : Buat apa pula kau masih
pikirin dia, Neng. Bikin capek saja kau ini. Kau lihatlah matamu makin cekung
dan sayu. Masih banyak laki-laki yang
lain, Neng cantiikk..
Neng : ….ahahaaa… lihat siapa yang barusan ngomong…
Butet sahabat Neng ini sungguh luar biasa setia, atau bodoh,
entah mana yang lebih tepat Neng juga bingung. Dari kecil menyimpan
cintanya hanya kepada Romy, cowok padang yang usianya 5 tahun lebih tua dari
Butet, dan sekarang sudah jadi pegawai kantor pos. Sayangnya, Romy cuma
menganggap Butet teman saja, atau kalau mau lebih dekat, ya hanya sebatas adik.
Tapi Neng tahu, tak pernah seharipun Butet tidak mencintai Romy.
Butet : yaaahh… dibilangin malah ketawa. Pasti lo mau
ngeledek gue ama Uda kan?
Neng : …… ngga…
Neng memandangi wajah Butet. Kenapa harus ngeledek? Pikir
Neng. Keadaan Neng sekarang juga tidak lebih baik. Tiba-tiba Neng berpikir mana yang lebih menyakitkan, menjadi pungguk
merindukan bulan, atau menjadi bulan ditinggalkan pungguk.
Butet : Tuuh kan bengong lagi. Ayo bangun. Ikut gue
sekarang.
Neng : Kemana? Neng teh males kemana-mana, Butet
sorangan wae atuh kalau mau jalan.
Butet : Ayo ikut aja. Kita cari tutut di sawah. Nanti gue
yang masak.
Neng : aiihh… geuleuh ah. Malu atuh udah gede…
Butet : Alaahhh… cepetan!
Setengah jam kemudian, Neng dan Butet
sudah ada di tengah sawah. Dengan kaki belepotan lumpur, Neng sibuk mencari
keong sawah kecil. Sementara Butet duduk
manis ditengah saung menunggu hasil tangkapan Neng. Dari dulu memang begitu
pembagian kerjanya. Butet jago masak, satu lagi kehebatan Butet yang tidak bisa
terbantahkan.Sejak kecil, Butet akan mengolah apa saja yang Neng cari, atau curi. Hehehe..
Butet
: Kau lihat kan, sore
diluar kamar itu indah sekali. Buat apa kau mengurung diri terus begitu. Lupakan
saja dia. Dia itu sudah nyakitin kau. Tak perlu kau tambah dengan nyakitin diri
sendiri.
Neng : Neng benci orang itu..
Butet : Apa gue harus nginep terus di
rumah kau, heh? Nanti gue bikin kau ketawa tiap hari. Gue jamin lo gak bakal
inget dia lagi.
Neng : Ahh.. kamu sendiri tidak bisa melupakan Uda, kan?
Butet berdiri. Tatapannya melembut.
Suaranya juga. Sepertinya beradu pelan dengan desau angin. Dan apa yang Butet katakan
tidak akan pernah bisa Neng lupa :
“Saya beda , Neng. Saya mencintai Uda
dengan tulus. Uda tidak pernah menyakiti saya. Dia hanya tidak mencintai saya. Dan
itu tidak salah. Jika nanti saya bisa mencintai orang lain, itu tidak akan
mengurangi rasa cinta saya ke Uda.”
Neng cuma bisa terpana. Mendadak Neng
menggigil. Ada dua aura berbeda terasa di udara senja ini. Aura kebencian hitam
menggumpal dari Neng, dan aura putih
seperti awan kapas menaungi Butet. Cinta itu tidak ada. Cinta itu ada. Tidak ada.
Ada. Tidak adaaaa. Adaaaa.. Kedua aura itu seperti bertarung beradu argumen. Neng dan Butet terdiam
saling menyelami. Senja makin gelap.
Ps: Hari itu ditutup dengan pesta
tutut yang maha lezat. Hanya saja, Neng dan Butet memakannya sambil diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar